Sejarah Desa Tamiajeng
Tamiajeng itu dahulunya bernama Taman Ayu. Karena ada perempuan cantik yang bernama Dewi Supriani yang konon adalah selir dari prabu Brawijaya raja Majapahit yang hidup dan tinggal di desa ini.
Dikisahkan Raja Majapahit mengutus seorang tumenggung yang bernama Mbah Surodito untuk membuka hutan di lembah diantara 2 gunung welirang dan Penanggungan. Menariknya lokasi yang dipilih ini terbilang istimewa. Sebuah daratan yang relatif datar yang menghubungkan 2 lereng Gunung. Lokasi dengan kondisi seperti ini adalah satu-satunya yang ada diwilayah Kecamatan Trawas.
Tidak heran bila berada di Tamiajeng hawanya lebih terasa hangat di banding dengan desa lainnya.
Mengapa wilayah ini yang ditunjuk dan dipilih menjadi sebuah perkampungan untuk tempat tinggal selir raja?
Di utara dusun Tamiajeng ini terdapat sebuah bukit, masyarakat menyebut dengan nama Gunung Bale. Sejak jaman kerajaan Kahuripan dengan rajanya yg terkenal Prabu Airlangga tempat ini sudah menjadi lokasi pusdiklat nya prajurit Kahuripan. Nah, di era Majapahit tempat ini berubah fungsi menjadi tempat peristirahatan para raja-raja Majapahit.
Di area sebelum masuk Gunung Bale ini ada sebuah putukan (lokasi agak tinggi) diberi nama Putuk samaran (sebagian orang Tamiajeng bilang Putuk Semarang) ini adalah tempat pos pemeriksaan para tamu yang akan berkunjung ke Raja.
Seakan ini menjawab pertanyaan kenapa wilayah Trawas ini menjadi destinasi wisata yang ramai dikunjungi banyak orang dan bahkan ada 11 hotel dan ratusan pervilaan, karena memang sejak jaman kerajaan dahulu Trawas sudah menjadi jujugan favorit.
Desa Tamiajeng ini termasuk kali pertama yang di buka hutannya untuk dijadikan perkampungan. Dan termasuk yang tertua di banding dusun-dusun lain di kecamatan Trawas. Jangan di bandingkan dengan kawasan petirtaan Jolotundo itu memang lebih dahulu ada tapi bukan diperuntukkan bagi perkampungan. Dusun Biting Seloliman yang mengcover kawasan Jolotundo terbentuk di jaman kerajaan Mataram pasca Majapahit runtuh.
Sepeninggal Mbah Surodito, perkembangan dusun Taman Ayu ini dilanjutkan oleh seorang ulama yang bernama Ki Gede Padusan. Nama ini mungkin tidak asing di telinga kita.. ya beliau juga yang babat alas membangun sebuah desa di wilayah Kecamatan Pacet, sesuai nama beliau desa itu diberi nama Padusan.
Jalur yang di gunakan Ki Gede Padusan ini untuk menuju Taman Ayu melalui jalur kuno (Tamiajeng-kemloko-krapyak-padusan). Beliau membangun sebuah musholla di sekitar sumber Beji untuk mengajarkan agama Islam kepada masyarakat Taman Ayu dan sekitarnya.
Bangunan musholla Mbah Gede Padusan memang sudah tidak ada tapi batu2 andesit bekas bangunan nya masih tersisa di ada di sekitar sumber Beji ini.
Sumber beji boleh dibilang "little Jolotundo" karena banyak batuan andesit yang di susun mirip Jolotundo tapi memang kecil.
Sumber Beji ini tergolong sumber istimewa!! Keberadaannya yang berada di tengah perkampungan warga ini masih memiliki debit air yang masih tinggi sekalipun di musim kemarau.
Padahal dilihat dari kondisi riil diatas sumber Beji ini sudah banyak bangunan-bangunan rumah warga. Berbeda dengan sumber di sekitarnya namanya sumber Dadap saat ini sudah kering dan tidak keluar air sumber lagi..
Bisa jadi sumber Beji ini termasuk sumber keramat karena tidak banyak sumber yang seperti ini di Kecamatan Trawas. Mungkin ini hampir mirip dengan sumber Macan di dusun Trawas. Mempunyai nilai historis terbilang tua dan memiliki sejarah yg begitu mendalam bagi masyarakatnya.
Dan sumber Beji ini salah satu yang menjadi cikal bakal desa Tamiajeng.
Kiranya perlu upaya untuk menjaga dan melestarikan keberadaan sumber Beji. Memang sdh di jaga hanya saja dari sisi estetika dan kemanfaatannya masih dibiarkan seadanya belum di rawat secara lebih baik lagi.
Itulah yang mendasari mengapa Mbah Gede Padusan mendirikan semacam padepokan di sekitaran sumber Beji ini. Karena air adalah sumber kehidupan. Dari sini beliau mengajarkan ilmu agama sebagai dasar menjalani kehidupan.
Mbah Gede Padusan ini memiliki kemampuan yang tidak biasa. Orang bilang beliau ini sakti. Ketika beliau ingin mengajarkan cara bercocok tanam yang baik; konon kabarnya beliau juga ahli dalam pertanian. Tanpa sepengetahuan orang beliau telah mempersiapkan pembukaan lahan pertanian di utara sumber Beji. Hanya dalam tempo satu malam saja. Alat-alat pertanian yang digunakan terbuat dari emas, dan binatang yg membajak sawah adalah banteng.
Pagi harinya, orang-orang baru mengetahui sudah terbentang 2 bidang sawah dari selatan ke utara yang terbagi sisi barat dan timur. Tentu dengan takjub!! bahasa kekiniannya "surprise", gitu.. ga menyangka lahan yg luasnya sekitar 2.5 Ha itu sudah siap tanam.
Saat orang ramai berkumpul itu, Mbah Gede Padusan membuat pengumuman sayembara. Di khususkan bagi perempuan desa karena hadiah yang bakal diterima adalah sebuah selendang yang diberi nama "Cinde". Apabila dapat memenangkan lomba menanam padi dari selatan ke utara dilahan sisi timur yang kondisinya memang lebih panjang dari sisi barat jaraknya kurang lebih 600 m. Tanpa berhenti dari titik start sampai finish.
Hanya 2 perempuan yang berani mendaftar untuk mengikuti sayembara yang di gelar. Mereka berdua adalah para dayang dari selir raja Majapahit yang bernama Dewi Rini dan Dewi Supriati.
Peserta pertama yang menjajal tantangan cara menanam dengan membungkuk tanpa berdiri sampai batas akhir diujung utara ini adalah Dewi Rini. Sayangnya belum sampai tuntas Dewi Rini tidak sanggup menyelesaikan sayembara. Alhasil gagal untuk mendapatkan hadiah selendang Cinde.
Masyarakat yang menonton berharap agar peserta selanjutnya sekaligus peserta terakhir ini dapat memenangkan sayembara. Sorak Sorai penonton mengiringi langkah pertama Dewi Supriati menanam padi. Secara fisik kondisi Dewi Rini dan Dewi Supriati ga jauh berbeda, berdua adalah pelayan yang tidak terbiasa bercocok tanam di sawah. Bahkan ada yg meragukan kemampuan Dewi Supriati ini bakal bernasib sama dengan Dewi Rini yang gagal finish.
Dengan tekad dan semangat kuat strategi Dewi Supriati ini berbeda dengan sebelumnya, menanam dengan sangat perlahan sekali. Masyarakat terus menyemangati dengan tepuk tangan dan sesekali teriakan2 bermakna pasti bisa. Keringat dan peluh menetes dari wajah Dewi Supriati seakan tidak kuat lagi untuk melanjutkan perjuangan.
Tapi ini luar biasa tekad itu mengalahkan kondisi fisiknya sampai menjelang titik akhir. Mungkin ini di sebut kekuatan alam semesta. Berhasil sampai masuk garis finish, namun menjadi akhir hidupnya. Ketika akan berdiri seketika itu langsung roboh.
Mbah Gede Padusan menilai Dewi Supriati yang memenangkan sayembara ini. Meski dengan pengorbanan yang luar biasa. Dan di tempat jatuhnya itu sekaligus menjadi tempat peristirahatan terakhir. Selendang Cinde ikut di sertakan dalam pemakaman. Sampai sekarang makam itu masih ada di sawah Cinde. Nama itu sebagai penghormatan untuk mengenang perjuangan tanpa kenal menyerah sampai titik darah penghabisan. Dewi Supriati lebih dikenal dengan mbok Cinde.
Sawah sisi timur di sebut sawah Cinde, sedangkan sisi barat di sebut sawah Rondo kuning.
Entah ini terjadi kapan, nama dusun yang semula Taman Ayu berganti Tamiajeng. Mbah Gede Padusan yang merubah nama itu.
Bisa jadi perubahan itu setelah peristiwa sayembara yang di menangkan oleh Dewi Supriati, meski pada akhirnya menjadi pengorbanan terbesar dalam hidupnya. Tidak sempat merasakan bangga sambil mengalungkan selendang Cinde yang sangat cantik itu, namun perjuangan tanpa batas menjadi pembelajarannya.
Nama Tamiajeng perpaduan 2 suku kata. Tami dan Ajeng. Tami artinya perempuan; wanita; putri, sedangkan Ajeng diartikan cantik. Jika di gabungkan menjadi "perempuan cantik". Mungkin Mbah Gede Padusan terinspirasi dari semangat tidak pernah mati dari Dewi Supriati.
Kecantikan bukan hanya dilihat dari fisik. Tapi tekat kuat menggapai tujuan dan hebatnya itu keluar dari sosok perempuan. Inilah yang disebut kecantikan sejati.
Hari berganti hari, Minggu berganti bulan dan terus berlalu, hingga waktu panen tiba. Karena sejak sayembara itu masyarakat bergotong royong menyelesaikan tanam padi di 2 petak sawah yang ada.
Mbah Gede Padusan mengutus seorang perempuan untuk memanen padi. Diketahui perempuan itu berstatus janda (Jawa=Rondo) yang berkulit kuning langsat. Masyarakat lebih mengenal dan memanggil si janda itu dengan Mbok Rondo Kuning. Belum ada yang tahu siapa sebenarnya mbok Rondo Kuning ini. Ada yang bilang namanya Dewi Rini rekan sesama dayang Dewi Supriati. Ada juga yang berpendapat Dewi Sri Utami.
Saat memanen padi itu terjadi keanehan, padinya terus menguning meski berkali-kali di potong. Di panen bagian depan, di bagian belakang seketika menguning. Di potong bagian belakang, di depan siap panen lagi. Begitu seterusnya.
Mungkin karena kesal dan kecapekan mbok Rondo Kuning membakar sawah padi yang menguning ini. Yang terjadi malah bukan hanya padi di sawah yang terbakar, lumbung padi juga ikut terbakar. Sedangkan peralatan pertanian yang terbuat dari emas tertelan bumi.
Asap membumbung tinggi diangkasa membentuk awan hitam terbawa angin ke arah barat laut. Hingga pada suatu tempat awan hitam itu seakan berkumpul. Dan Mbah Gede Padusan pun berujar wilayah yang berada di bawah kumpulan awan hitam itu suatu saat nanti agar di beri nama Kemendung.
Kemendung adalah nama salah satu dusun di desa Penanggungan. Merupakan tetangga desa Tamiajeng. Lokasi Kemendung agak lebih masuk ke barat setelah dusun Sendang.
Konon kabarnya sebelum berubah nama menjadi Kemendung dahulunya bernama Nongko Putih. Begitu 'tawaduk'nya kepada seorang yang alim dan disegani sampai sekarang dusun ini tetap Kemendung.
Istimewanya lumbung padi terbesar di wilayah kecamatan Trawas ada di wilayah Kemendung. Barangkali ini adalah Barakah terbesar dari sawah padi yang di bakar yang asapnya memilih dusun ini sebagai lokasi terbaik bertanam padi.
Tamiajeng itu bisa jadi permukiman tertua di Kecamatan Trawas. Tidak heran bila peradaban yang ada di Tamiajeng menyebar ke dusun-dusun sekitarnya.
Sebut saja dusun Duyung dan dusun Kemlagi, 2 dusun ini bertetangga persis dengan Tamiajeng. Berbatasan dengan sawah Rondo kuning dan sawah Cinde. Bisa di bilang kekerabatannya begitu dekat.
Eyang Duyung atau Mbah Sumiran masih memiliki hubungan keluarga dengan Rondo Kuning. Kemudian Mbah Sarirejo yang masih kerabat Mbah Surodito di nikahkan dengan putri Mbah Truno Menggolo yang bernama Truno Sari, sepasang suami istri ini yang membabat dusun Kemlagi desa Kesiman.
Rasa kekeluargaan itu sampai sekarang masih kental terlihat dalam keseharian. Terwujud rasa kasih sayang antara 2 warga dusun itu dan saling menjaga satu sama lainnya.
Ini bagian dari persebaran Islam selain metode dakwah langsung juga menggunakan pendekatan pernikahan, membangun kekerabatan, cinta damai dan mengembangkan semangat rahmatan lil alamin.
Tamiajeng itu populer dengan julukan bumi para Wali. Karena banyak tokoh-tokoh yang berdakwah memberikan pengajaran nilai-nilai keislaman bagi masyarakat tanpa menghilangkan budaya yang ada. Secara teori itu namanya "akulturasi".
Nama-nama beberapa tokoh itu diantaranya yang sudah di sebut2 Mbah Surodito, Mbah Gede Padusan, kemudian Mbah Surgi dan Mbah Ki Agung Pinayungan.
2 nama terakhir ini mungkin ada yang kaget!! Terdapat kesamaan nama dengan beberapa makam di tempat lainnya. Seperti makam Mbah Surgi itu tersebar di banyak tempat setidaknya di wilayah Mojokerto saja ada 3 tempat di Awang-awang Mojosari, Mendeg Ngoro dan Tamiajeng Trawas.
Belum yang di luar Mojokerto juga ada di Kepulungan, Bugul, Sukorejo dan Pecalukan semua di Pasuruan.
Menurut versi sesepuh Tamiajeng, Mbah Surgi mendapat tugas dari Mbah Syeh Jumadil Kubro untuk melakukan perjalanan ritual kearah timur di mulai dari Troloyo sampai di pemberhentian pertama di Awang-awang dengan ditandai batu, lanjut perjalanan sampai di Mendeg memberi tanda batu juga.
Saat di Mendeg itu udeng Mbah Surgi terlepas terbawa angin dan jatuh kembali di Awang-awang.
Kemudian lanjut lagi sampai di Kepulungan dan Bugul semua di tandai batu. Nah, saat di Bugul itu perintahnya tidak lagi ketimur tapi kembali ke barat via Sukorejo, berhenti tetap di tandai batu termasuk ketika di Pecalukan Prigen juga sama. Lanjut ke barat dan sampailah di Tamiajeng. Mbah Surgi wafat tahun 1319 M dan di makamkan di pemakaman desa Tamiajeng yang tertata apik kalo di lihat seperti taman-taman yang indah.
Mbah Ki Agung Pinayungan termasuk salah satu wali qoryah (kawasan) wilayah Trawas. Beliau ini menurut beberapa sumber adalah utusan dari Kerajaan Mataram. Sebenarnya tugas awalnya adalah memberantas gerombolan Kampak.
Siapa gerombolan Kampak??
Apakah kelompok yang meresahkan masyarakat??
Di mata Belanda, kelompok ini dianggap sebagai penjahat, perampok dan pengganggu ketentraman. Belanda tidak mampu membasmi sendiri karena pola kerjanya invisible (tak kasat mata) dan selalu berbaur secara komunal dengan masyarakat umum. Sehingga meminta bantuan kerajaan Mataram yang belum menyadari posisi Belanda ingin menguasai dan menjajah bangsa ini.
Taktik yang digunakan sangat licik mengadu domba sesama bangsanya sendiri. Namun ini sangat disadari oleh Mbah Ki Agung Pinayungan atau juga dikenal dengan nama Mbah Tunggul Wulung.
Mbah Tunggul Wulung bukannya membasmi Kampak malah melakukan gerakan dakwah menyebarkan Islam yang mayoritas saat itu belum bertuhan yang Esa. Upaya Mbah Tunggul Wulung ini efektif. Islam menyebar dari Utara trawas di seloliman sampai ke selatan wilayah Tamiajeng dan sekitarnya.
Tidak heran bila makam Mbah Ki Agung Pinayungan ini diketahui ada di 2 tempat. Yaitu di makam dusun Biting Seloliman di yakini termasuk leluhur dusun mereka. Dan di makam Geneng Tamiajeng yang lokasinya berdekatan dengan pos pendakian puncak Penanggungan.
Perjuangan para wali membumikan Islam di wilayah trawas ini patut untuk di kenang sepanjang masa sebagai inspirasi bagi generasi jaman now untuk meneruskan perjuangan para pendahulu. Semangat !!!
Belajar dari sebuah dusun yang unik dan strategis menyimpan nilai historis yang tua dan panjang. Tamiajeng menjadi titik pusat peradaban nilai-nilai keislaman yang berkembang dari masa ke masa.
Ketika Belanda saat kali pertama memasuki wilayah Trawas sekitar akhir abad 19. Tidak mudah bagi kolonial untuk begitu saja menguasai wilayah ini. Strategi Belanda tidak hanya 'Devide et Impera' tapi juga pendekatan agama dilakukan agar melancarkan operasi perluasan yang awalnya untuk kepentingan perdagangan menjadi penjajahan.
Jadi ingat mata pelajaran sejarah; apa yang membuat Belanda sulit masuk Aceh. Karena begitu solidnya rakyat Aceh membendung ekspansi kompeni ini, senantiasa berpegang teguh pada nilai-nilai agama yang diyakini menjadi sebuah kekuatan yang dahsyat mengusir penjajah dari bumi rencong ini.
Tapi apa yang terjadi ketika Belanda menugaskan snouck Hurgronje seorang budayawan orientalis yang fasih berbahasa Arab bahkan menguasai ilmu keislaman dijadikan strategi menghancurkan perlawanan rakyat Aceh untuk mengakhiri kisah panjang Perang Aceh yang berlangsung selama 40 tahun. Mengadu domba dari dalam. Belanda dapat menguasai Aceh.
Nah balik lagi ke Tamiajeng;
Pendekatan Belanda membuat senang dan bangga warga. Terutama masyarakat Tamiajeng yang sangat kuat religiulitasnya. Selalu mengedepankan nilai-nilai islam dalam kehidupan sehari-hari. Dan Belanda "terkesan" memberikan dukungan meyakinkan terhadap pembangunan sebuah Masjid yang memang masih belum ada di wilayah Trawas ini.
Dipilihlah sebuah lokasi yang strategis mudah di akses dari segala penjuru. Berdiri dengan megah sebuah bangunan Masjid pertama yang ada di Trawas. Diberi nama Masjid Besar Baitus Sholihin. Menjadi kebanggaan masyarakat Tamiajeng.
Tidak ada yang tahu pasti kapan masjid ini dibangun, hanya berdasar informasi dari mendiang kakek buyut Kepala Desa Tamiajeng, di tahun 1903 masjid ini sudah ada. Dan di renovasi terakhir pada tahun 2014 yang lalu.
Tamiajeng menjadi kawasan santri yang diperhitungkan kompeni. Begitu berhati-hatinya Belanda dalam bertindak hingga tetap mempertimbangkan kerawanan atas ketersinggungan kaum santri ini.
Beberapa bukti seakan menunjukkan Tamiajeng dikelilingi beberapa kepentingan Belanda. Di selatan Tamiajeng ada semacam tangsi (barak) tentara Belanda. Disisi Timur tepatnya di Sumbersari terdapat lapangan Belanda. Meski ada juga orang Belanda yang hidup dan tinggal membaur dengan orang pribumi. Tepatnya di RW 03 dekat sumber Jeding, orang Tamiajeng memanggil Martha. Bisa jadi berperan mirip snouck Hurgronje.
Bila Aceh adalah serambi Mekah-nya Indonesia, maka Tamiajeng adalah serambi Mekah ala Trawas. Semoga begitu.
Sariono
BalasHapusmohon info silsilah mbah surodito
BalasHapuskalo tidak keberatan bisa hub di 0856 480 332 64
PokerStars - Gaming & Slots at Aprcasino
BalasHapusJoin wooricasinos.info the fun at Aprcasino and herzamanindir.com/ play the 1xbet korean best of the best PokerStars casino games including Slots, Blackjack, apr casino Roulette, Video 출장안마 Poker and more!